Kamis, 16 Juli 2009

Demi sebuah rumah ibu tega meninggalkan anak bungsunya, hingga anak harus menderita gizi buruk

Ade Margandi, Ayah Penderita Gizi Buruk

Jangan salahkan aku jika anakmu menderita gizi buruk,” begitulah kata-kata yang dilontarkan oleh Ade margandi (42) setelah sang istri meninggalkan dirinya dan ketiga anaknya. Ia rela menjadi bapak sekaligus ibu untuk ketiga anaknya. Kemiskinan, membuat ia harus rela melihat putra bungsunya yang terkulai lemah di RSUD Soreang, Bandung. Lantas bagaimana perjuangan Ade dan apa yang menyebabkan putra bungsunya menderita gizi buruk?

Senin (29/6), saya melakukan perjalanan menuju kota Bandung, Jawa Barat. Hampir lima jam menelusuri jalan menuju kota Bandung, tibalah di sebuah rumah sakit yang terletak di Jalan Alun-alun Utara Pemkab Bandung. Suasana mulai terasa berbeda dengan Jakarta. Hawa sejuk masih terasa. Pemandangan hijau pun terlihat indah di sekelilingnya. Sesampainya di dalam ruangan RSUD Soreang, saya disambut baik oleh para petugas Rumah sakit.

Tepat di depan ruang Melati kelas III terlihat enam tempat tidur. Masing-masing bagian sebelah kanan dan kiri, terdapat tiga ranjang tempat tidur ditempati oleh anak-anak yang terbaring lemah tak berdaya. Mereka berusaha sembuh dari penyakitnya masing-masing. Di balik pintu sebelah kiri, terlihat seorang pria tua yang tengah menggendong anaknya dengan sebuah kain batik sambil mengayunkan badannya. Dialah Ade margandi (42) dan Fadli Sobarna (2), putra bungsunya yang positif mengalami gizi buruk. Setelah membaringkan anaknya di sebuah ranjang dan duduk di bangku palstik berwarna biru, Ade bercerita tentang perjuangan dan kisahnya sebagai single parent dari sebuah keluarga miskin bagi ketiga anaknya.

Keluarga Miskin. Ade margandi atau yang akrab di panggil Ade merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Dua adiknya meninggal dunia dan yang satu telah menikah serta mengikuti suami. Ade dibesarkan dari keluarga yang tergolong ekonomi sulit. Ibunya, Onah (72) hanya bekerja sebagai buruh tani yang dibayar Rp 12.000 per hari. Sedangkan, bapaknya sudah meninggalkan Ade sejak ia lahir. Kehidupannya dari kecil amatlah memprihatinkan. Bila anak-anak seusianya sudah mengenyam pendidikan di sekolah, Ade justru harus mencari uang guna membantu ibu yang sudah menjadi janda. Saat Ade berusia 20 tahun, ia mulai mencari pekerjaan yang lebih baik dari sekedar bertani guna meningkatkan taraf hidup keluarganya.

Ade mulai menemukan pekerjaan yang lebih baik. Selepas meninggalkan pekerjaan sebagai petani, ia menjadi penjahit pakaian di sebuah perusahaan konveksi. Diakui Ade, upahnya cukup lumayan ketimbang penghasilan saat bekerja sebagai petani. Tahun 1998 merupakan tahun yang kelam bagi Ade dan bagi banyak orang. Ia harus rela meninggalkan pekerjaannya sebagai penjahit dikarenakan perusahaan tempat ia bekerja terkena dampak krisis ekonomi. Alhasil, sebagian besar karyawannya terpaksa diberhentikan, termasuk Ade. Setelah mengalami depresi akibat PHK, Ade mulai mencari pekerjaan lainnya. Terdesaknya kebutuhan ekonomi mengharuskan Ade untuk bekerja. Akhirnya ade pun bekerja sebagai buruh serabutan. “Ketika ada yang meminta saya untuk bekerja sebagai kuli, ya saya jalankan sebagai kuli. Pokoknya pekerjaan apa saja, yang penting halal saya kerjakan,” terang Ade sambil menghela nafas sesekali.

Sekian lama Ade hidup sendiri, pada tahun 2001, ia melepas kesendiriannya dan menikah dengan gadis yang bernama Popon Supainah (40). Meski terbilang ekonomi sulit, kehidupan rumah tangga mereka cukup bahagia. Kebahagiaan itu terasa lebih lengkap setelah kehadiran anak-anak mereka. Susah dan senang, selalu dijalani bersama. Terdesaknya kebutuhan keluarga untuk menyambung hidup serta keinginan untuk memiliki pekerjaan yang lebih layak, membuat kebahagiaan yang mereka jalani selama bertahun-tahun tergoyahkan. Popon sudah tidak bisa lagi menerima kehidupan keluarga yang tak menemui perbaikan. Keinginannya yang kuat untuk memiliki rumah yang bagus, kondisi ekonomi yang memadai mulai merasuki pikiran Popon. Popon selalu saja menuntut Ade agar mencari nafkah lebih sehingga ia bisa menikmati hidup seperti teman-temannya yang sukses.

Ditinggal Istri. Merasa tuntutan Popon tidak mampu dipenuhi Ade, akhirnya Popon memilih untuk bekerja di negeri seberang. Pada tahun 2007, setelah Popon melahirkan anak ketiga yang bernama Fadli Sobari, ia memutuskan untuk menjadi seorang TKW di Arab Saudi. Kurang dari dua bulan, Fadli dapat merasakan air susu dari ibu kandungnya tersebut. Kebutuhan hidup yang terus mendesak membuat Popon harus memutuskan untuk rela meninggalkan Fadli dalam usia dua bulan. “Saat usia itu, seharusnya Fadli masih merasakan kasih sayang dari ibunya dan bukan ditinggalkan,” ungkap kekecewaan Ade.

Sejurus kemudian, Ade merasa beban hidup yang ia pikul akan semakin berat selepas ditinggal sang istri. Ade juga merasa kehilangan semangat hidup, yang kemudian berpengaruh terhadap hilangnya semangat untuk mencari nafkah. “Karena saya hanya bersama ibu yang sudah berusia lanjut, saya harus memikirkan kehidupan anak saya kelak, kebutuhan makan anak saya nantinya,” cerita Ade sambil mengelus Fadli. Ade langsung mempercayai kepergian Popon bekerja di luar negeri atas dasar kebutuhan ekonomi. “Saya merasa Popon bukan hanya sekedar bekerja, namun ia mencari suami lain lagi,” ungkapnya. Kini, Ade pun sudah tidak ingin bersamanya lagi. Yang ia inginkan adalah bagaimana merawat anak-anaknya untuk tumbuh menjadi dewasa dan sehat.

Tak pernah sedikit pun terlintas dalam pikirannya, Ade harus membesarkan anak-anaknya hanya dengan kasih sayang yang ia miliki sendiri, tanpa kehadiran istri. Namun, itulah kenyataan pahit yang harus diterima Ade. Setelah kepergian istri ke luar negeri, Ade harus menggantikan posisi istri dengan mengurus ketiga anaknya. Kegiatan yang ia lakukan sama halnya dengan seorang ibu, dan mencari nafkah layaknya seorang bapak dan kepala rumah tangga. Dari kegiatan Ade sebelumnya yang hanya fokus mencari uang untuk biaya kebutuhan rumah tangga dan makan, saat ini Ade harus mengubah aktifitasnya menjadi seorang ibu sekaligus bapak. Pagi hari, Ade harus bangun untuk mempersiapkan kebutuhan anak-anaknya, Novi (7), Rani Sulastri (5) dan Fadli Sobarna (2). Ketika ketiga anaknya sudah membuka mata dan melihat indahnya pagi, ia lantas memandikan anak-anaknya dan membuat makanan untuk ketiga anaknya serta ibunya yang sudah lanjut usia.

Menjadi Bapak Sekaligus Ibu. Tak hanya itu saja, Ade juga mencuci baju dan piring hingga larut malam. Memejamkan mata untuk melepas kelelahan, cuma bisa ia lakukan selama beberapa menit saja. Keesokan paginya, ia harus melakukan rutinitas yang sama. Tugasnya yang ganda, membuat Ade memiliki pemikiran yang bercabang. Di satu sisi, ia harus merawat anak anaknya. Di sisi lain, ia juga harus memenuhi kebutuhan bahan makanan bagi keluarga. “Pekerjaan saya serabutan, maka pemasukan uang pun dalam satu hari belum tentu ada untuk makan,” terang Ade sambil berkaca-kaca.

Sesekali, istri memang mengirim uang untuk biaya kehidupan ketiga anaknya. Istrinya pernah sekali mengirim uang sebesar Rp 4 juta untuk kebutuhan hidup Ade dan ketiga anaknya. Bagi Ade, itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih balita. Apalagi anaknya, Fadli masih butuh susu untuk asupan gizinya. Ade sudah merasa bahwa sudah tanggungjawabnya untuk merawat ketiga anaknya tersebut. Ia mengaku akan merasa sangat berdosa, jika ia menelantarkan ketiga anaknya. Keterbatasan waktu dan tenaga yang dimilikinya semenjak merangkap menjadi ibu, membuat dirinya tak punya banyak waktu untuk memperhatikan asupan makanan bagi ketiga anaknya. “Gimana mau bekerja, anak-anak saya masih kecil-kecil. Mereka masih butuh kasih sayang. Siapa yang ingin menjaga mereka kalau bukan saya, karena saya hanya sebatang kara,” kilah Ade.

Sesekali, untuk memenuhi kebutuhan pangan, Ade harus meminjam uang kepada tetangga-tetangganya. Yang ia pentingkan hanyalah anak-anaknya dan ibunya, agar bisa makan demi melanjutkan hidup. Sedangkan, Ade sendiri jarang sekali memperhatikan dirinya. Pernah suatu ketika di dapur rumah milik ibu Ade, hanya ada sedikit bahan makanan dan cukup untuk anak-anak serta ibunya, Onah. Ia harus rela berpuasa selama empat hari agar ibu kandung dan anak-anaknya bisa makan. Menurutnya, ia kerap berpuasa bukan hanya sesekali. Ade mengaku jika ia tidak memiliki iman yang sangat kuat, mungkin ia sudah berada di rumah sakit jiwa. Untungnya, benteng agama yang kokoh membuat ia terus bertahan dengan keadaan yang dialami. Meski sudah berusaha maksimal menjadi bapak sekaligus ibu, cobaan terus dihadapi hingga akhirnya baru diketahui bahwa anaknya, Fadli menderita gizi buruk. Kemiskinan pula yang kini membuat anak pertama dan keduanya tak bisa mengenyam pendidikan layaknya anak-anak lain.

Positif Gizi Buruk. Sebelum Fadli mengalami gizi buruk, menurut Ade, Fadli merupakan anak yang sangat lucu dan aktif. Tubuhnya gemuk seperti kebanyakan bayi-bayi yang lainnya. Pada umur satu tahun, Fadli juga sudah bisa berjalan dan bermain dengan rekan-ekan sebayanya. Tak jarang, tetangganya sangat menyukai Fadli, karena anaknya yang lucu dan aktif. Suatu hari, ketika sang nenek pergi bertani dan Ade bekerja di dapur membuat makanan serta merebus air untuk persediaan minum, tanpa di ketahui Ade, Fadli masuk dan langsung meminum air yang masih mendidih di dalam sebuah termos yang baru terisi air. Keesokan harinya, badan Fadli mendadak menjadi panas. Tanpa pikir panjang, Ade langsung membawa Fadli ke puskesmas terdekat.

Setelah diberi obat, Fadli tak kunjung sembuh. Ade pun pergi ke tempat praktek dokter yang tak jauh dari rumahnya. Kendati sudah diperiksa dan diberi obat oleh dokter tersebut, penyakit Fadli tetap tak jua sembuh. Akhirnya, ade memutuskan untuk membawanya kembali ke dokter. Menurut dokter yang memeriksa, keadaan Fadli sudah sangat kritis. Karena keterbatasan biaya, Ade bingung akan membawa anaknya tersebut ke mana. Hanya kepasrahan sajalah yang menghinggap di pikiran Ade. Setelah beberapa lama tidak diobati, tubuh Fadli semakin hari semakin mengecil. Perutnya kemudian membuncit, dan dibarengi dengan kakinya yang membengkak. Paru-parunya semakin terlihat jelas karena mengurusnya tubuh Fadli. Ia pun tidak bisa berjalan seperti sebelum terserang penyakit.

Tubuh Fadli sangat lemah tak berdaya. Kulit tubuhnya juga mengelupas. Ade tidak bisa berbuat apa-apa, melihat kondisi anaknya. Ia hanya mampu meratapi kemiskinannya. Hingga pada suatu hari, pada Senin (22/6) lalu, Ade kedatangan tamu penting di rumahnya. Ia terkejut dan tak menyangka bahwa yang datang berkunjung adalah istri gubernur Jawa Barat yang sekaligus menjadi ketua tim penggerak PKK Jawa barat. Setelah beberapa lama berbincang-bincang, akhirnya Nety Akhmad Heryawan langsung meminta Ade agar membawa Fadli ke rumah sakit terdekat yaitu RSUD Soreang Bandung, untuk dilakukan perawatan. Ade pun menuruti apa kata ibu Gubernur. Saat itu juga, Fadli langsung dibawa ke Rumah sakit. Beruntung, biaya yang dikeluarkan untuk perawatan Fadli ditanggung oleh Pemkot Bandung. Merasa Fadli membutuhkan kasih sayang dari sang ibu, Ade berusaha untuk mengabarkan sang istri via telepon. Kabar yang ia sampaikan ternyata sia-sia. Tidak ada tanggapan apapun yang diberikan istri. “Saya sudah mengabarinya, namun istri saya cuek,” ungkapnya dengan penuh kesedihan. Saat ini, Ade sudah tidak ingin memikirkan istrinya kembali. Yang ia pikirkan hanyalah anak-anaknya. “Jika saya tidak merawat dan menyerah dengan keadaan maka siapa yang akan merawat anak saya nanti,” ungkap Ade mengakhiri perbincangan. Aimee

Side bar 1…

Onah, Ibu Kandung Ade

Ade selalu berusaha menjadi bapak sekaligus ibu yang terbaik untuk anak-anaknya.

Tepat di Kp. Cisalak RT. 01/03, Desa Jati Sari, Kecamatan Cangkuang, Bandung, realita menemui Onah, ibu kandung Ade. Menurutnya, dari kecil Ade adalah anak yang mandiri. Ia ditinggal oleh bapaknya sejak masih kecil. “Ia sering membantu ibu mencari uang dan menggantikan bapaknya,” ungkap Onah. Selain bekerja menjadi buruh, Ade juga merangkap menjadi ibu dari ketiga anaknya. Ia merawat anak-anaknya dengan baik. Bahkan, ia juga rela tidak makan asalkan ibu dan anaknya dapat makan. Onah mengaku, tidak mengetahui penyebab cucunya sakit dan mengalami gizi buruk.

Setahu Onah, Ade selalu memberikan makanan yang bergizi dan sehat seperti anak-anak balita lainnya. Ia juga selalu berusaha menjadi bapak sekaligus ibu yang terbaik untuk ketiga anaknya. Onah juga menyayangkan akan kepergian menantunya. “Popon tidak sayang kepada saya,” jelas Onah singkat. Terbukti, Popon hanya meninggalkan anak-anaknya tanpa bertanggung jawab. “Yang merawat anak-anaknya hanya Ade, anak saya,” ujarnya. Onah mengaku tidak bisa membantu Ade sepenuhnya karena ia harus bekerja menanam benih padi dari pagi hingga sore. Aimee


Mahasiswi pemulung

Ming Ming Sari Nuryanti


Menjadi Pemulung untuk Membiayai Kuliah dan Melanjutkan Hidupnya


Mungkin, untuk sebagian orang, memulung botol-botol dan gelas bekas air mineral merupakan pekerjaan yang tidak bisa diandalkan. Namun tidak untuk Ming Ming Sari Nuryanti (18). Ia justru mengandalkan rezekinya dari botol dan gelas-gelas plastik itu. Ia bisa makan dan kuliah karena itu. Bagaimana perjuangannya dan kegiatannya sehari-hari?


Kamis (3/4) pukul 06.00 WIB. Saya menyusuri jalan kota Bogor menuju Rumpin, sebuah desa kecil yang letaknya kira-kira 100 km dari kota Bogor. Untuk bisa sampai ke Rumpin, kita harus mengganti kendaraan hingga tiga kali. Jalan ke desa ini pun berkelok-kelok. Di pinggir jalan terlihat batu besar dan tumpukan pasir setinggi laki-laki dewasa. Saya baru tiba di SMU Negeri 1 Rumpin sekitar pukul 10.00 WIB, tempat dimana Saya janji bertemu dengan seorang gadis. Setelah beberapa lama menunggu, muncul seorang gadis mungil dari pintu gerbang sekolah. Ia mengenakan jilbab berwarna hijau dan terusan gamis dengan motif kotak-kotak yang juga berwarna hijau. Di punggungnya ada tas berwarna merah jambu yang sudah sobek-sobek. Wanita itu adalah Ming Ming.

Ming Ming Sari Nuryanti, nama lengkap wanita itu. Panggilannya Ming Ming. Ia lahir di Jakarta, 28 April 1990 sebagai putri pertama dari tujuh bersaudara pasangan Syaepudin (45) dan Pujiyati (42). Syaepudin, ayahnya, adalah seorang karyawan di sebuah tempat hiburan di daerah Ancol, Jakarta Utara. Setiap hari ia mengumpulkan bola bowling yang ditinggalkan pengunjung. Sementara Pujiyati, ibunya, adalah seorang ibu rumah tangga sederhana yang juga memungut botol dan aqua gelas. Lisa, adiknya yang pertama, duduk di bangku kelas 3 SMU Negeri 1 Rumpin. Melati, adiknya yang kedua, duduk di bangku kelas 2 di SMU yang sama. Kenny, adiknya yang ketiga, duduk di bangku kelas 6 SD Sukajaya. Sementara tiga adiknya yang lain juga masih sekolah di sekolah yang sama. Romadon di kelas 5, Rohani di kelas 4 dan Mia di kelas 1.

Tahun 1994, Ming Ming dan keluarganya tinggal di sebuah rumah kontrakan tipe 26 yang sangat sederhana di Cengkareng, persisnya di daerah Kosambi. Kehidupan ekonomi keluarganya ketika itu sangat pas-pasan. Kedua orang tuanya berjualan rempeyek dari warung ke warung. Hasilnya hanya cukup untuk bisa makan dan bayar kontrakan. Tidak lebih. Untung saja Ming Ming belum sekolah sehingga beban keluarga tak bertambah. Apalagi kalau bukan karena usianya yang masih terlalu kecil. Masih 4 tahun. Hanya saja, gereget untuk sekolah sudah ada. “Dalam usia sedini itu saya merasakan semangat untuk sekolah, merasakan keinginan yang kuat untuk belajar,” ceritanya.

Karena keinginan yang besar itu, Ming Ming pernah meminta kedua orang tuanya untuk disekolahkan. Syaepudin dan Pujiyati tak berkeberatan. Mereka sadar betul akan arti pendidikan. Singkat cerita, Ming Ming didaftarkan ke SDN 02 Kosambi. Masalahnya, kepala sekolah merasa keberatan karena usianya belum cukup. “Karena ibu merasa kasihan melihat saya, ibu merayu kepala sekolah untuk bisa sekolah,” lanjutnya. “Rayuan” ibunya berhasil. Kepala sekolah mengangguk. Tetapi ada catatannya. Kalau dalam tempo tiga bulan ia tidak bisa, ia akan dikeluarkan. Jadilah Ming Ming sekolah. Sebulan lewat, tidak ada masalah. Demikian hingga bulan ketiga. Tak ada masalah. Ia justru bisa naik ke kelas 2 dengan hasil yang memuaskan.

Pindah ke Bogor. Saat Ming Ming beranjak kelas dua, Syaepudin, sang ayah, merasakan bahwa hidup di Kosambi ternyata sangat mahal dan ia merasa tidak akan mampu membiayai anak-anaknya untuk jangka kedepan jika ia terus berlama-lama tinggal di daerah Kosambi. Tanpa pikir panjang, Ming Ming dan keluarga memutuskan untuk pindah ke daerah Bogor dan meninggalkan usaha rempeyeknya. Usaha rempeyek pada saat itu sedang maju, tapi Syaepudin sangat yakin bahwa usaha itu tidak akan berkembang untuk ke depannya. “Pada saat itu ayah sudah memiliki modal,” terangnya. Tahun 1996 ia memulai kehidupannya di daerah Bogor, dan memulai usaha baru dengan membuka toko makanan kecil-kecilan.

Setahun berjalan, usaha itu bangkrut. Keluarga Ming Ming pun mengalami paceklik. Saat itu, makanan pokok yang sering dimakan adalah nasi yang hanya satu liter dan dijadikan bubur untuk makan sekeluarga agar bisa melanjutkan hidup. Hal itu berjalan selama lima tahun. “Kalau ayah benar-benar sedang seret, nggak punya uang, maka singkonglah makanan pokok kami. Itu pun kami dapatkan dengan cara meminta dari kebun orang lain,” kenangnya sambil berkaca-kaca.

Pada tahun 1999 terjadi krisis moneter. Syaepudin tidak memiliki uang sama sekali. Waktu itu Ming Ming berusia 8 tahun. Karena situasi yang sangat berat ini, Pujiyati yang sedang mengandung mesti bekerja keras untuk membantu perekonomian keluarga. Setiap siang ia berjalan kaki sejauh beberapa kilometer sambil membawa karung. Ia mengumpulkan botol-botol aqua gelas di desa lain. Menjelang Maghrib, baru ia kembali ke rumah. Tak hanya itu, Pujiyati dan anak-anaknya sering juga mendatangi desa-desa yang menggelar acara musik dangdut. Mereka membawa karung masing-masing untuk mengumpulkan botol-botol bekas air mineral yang ditinggalkan dan dibuang penonton. Ia dan anak-anaknya baru pulang ke rumah sekitar pukul 03.00 WIB. Tak hanya sekali, tetapi beberapa kali.

Selain memungut botol bekas air mineral, Pujiyati juga sering menimba air dari sumur yang letaknya agak jauh dari rumah. Tak jarang ia juga membawa beberapa ember pakaian dan mencucinya di kali desa Sukasirna, tak jauh dari rumahnya. Karena pekerjaan semacam itu dan tak adanya asupan gizi, Pujiyati kehilangan bayinya. Bayi kembarnya meninggal dunia beberapa saat setelah dilahirkan. “Betapa susahnya perjuangan kita pada saat itu, desahnya.

Syaepudin selalu memikirkan bagaimana caranya agar keluarga dapat makan dan tidak kelaparan. Setiap ada lahan untuk usaha, apapun bentuknya, asalkan halal selalu dilakoninya. Saat itu ia melihat ada dedaunan pisang, hal itu dijadikannya sebagai usaha untuk memperpanjang hidup. Daun-daun pisang itu ia kumpulkan dan bersihkan lalu dijual ke pasar. Hasilnya, bisa untuk makan sehari-hari. Krisis moneter pun berangsur-angsur pulih dan Ming Ming sekeluarga dapat makan nasi meskipun dengan lauk tempe.

Suatu hari, ada seorang teman Syaepudin datang ke rumah untuk berbincang-bincang. Ketika mengetahui kondisi keluarga Syaepudin, sang teman memberitahu bahwa gelas-gelas bekas air mineral itu dapat dijadikan uang jika dikumpulkan. Saat itu juga Syaepudin berembuk dengan seluruh keluarga dan memulai usaha baru yaitu mengumpulkan gelas dan botol-botol bekas air mineral. Hampir setiap hari keluarga mereka berbondong-bondong keluar sambil membawa karung dan memunguti gelas-gelas plastik bekas air mineral. Sekilo gelas-gelas plastik bekas air mineral, dihargai sebesar delapan ribu rupiah. Dalam sehari, Ming Ming bisa mengantongi gelas-gelas plastik bekas air mineral sebanyak satu karung beras atau seberat satu kilo.

Bisa Kuliah. Setelah tamat SMU, Ming Ming tidak pernah terfikir akan melanjutkan kuliah. “Dalam bayangan saja, nggak pernah terlintas bisa kuliah karena memikirkan uang yang berjuta-juta. Darimana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu, melihat saja tidak pernah,” ujarnya. Dalam kondisi seperti itu, beruntung Ming Ming mempunyai sosok ayah yang mementingkan arti sebuah pendidikan. Sebagai ayah, Syaepudin selalu memotivasi anak sulungnya untuk mencari ilmu. Bahkan ia yang mendorong agar anaknya tetap kuliah meski harus prihatin.

Tahun ajaran 2007-2008, Ming Ming memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Sang ayah menyarankan agar ia mengambil jurusan akuntansi di Universitas Pamulang, Tangerang, Banten. Dengan biaya Rp 900.000, Ming Ming bisa duduk di bangku kuliah. Beruntung ia mendapat keringanan sehingga biaya tersebut bisa dicicilnya, per bulan sebesar Rp 150.000. Bagi Ming Ming, uang sebesar itu merupakan uang yang sangat banyak. Jadi, apabila ia ingin kuliah maka ia pun harus bekerja keras siang dan malam.

Dalam sehari, Ming Ming hanya tidur beberapa jam saja. Di sela tidurnya, ia selalu menyempatkan diri untuk shalat tahajud, setelah itu ia langsung melakukan aktivitas pekerjaan rumah seperti mencuci dan menyapu. Tepat pukul 06.00 pagi, Ming Ming berangkat menuju kampusnya di Tangerang. Karena tidak ada bahan yang bisa dimasak untuk sarapan, maka Ming Ming sudah terbiasa menahan laparnya hingga ia pulang kuliah.

Berangkat dari rumahnya, Ming Ming harus berjalan kurang lebih sejauh 5 km melewati hutan belantara yang ditumbuhi pohon-pohon yang sangat besar. Karena tidak punya ongkos untuk naik bus luar kota, terpaksa ia harus menunggu lama menghadang truk yang lewat. Biasanya ia menumpang truk sampai perbatasan yaitu daerah Cicangkal yang jaraknya memakan waktu kurang lebih satu jam. Meski ia seorang perempuan dan memakai baju panjang, namun Ming Ming terlihat begitu lihai menaiki truk yang lumayan besar itu. Pertama-tama ia melempar terlebih dahulu gembolan karung yang dibawanya ke atas truk. Barulah kemudian ia naik dengan cara menaiki bannya terlebih dahulu dan lalu meniti lewat badan truk. Karena sudah terbiasa, Ming Ming tidak kesulitan ataupun takut terjatuh ketika naik di belakang truk yang tingginya bisa mencapai tiga kali tinggi tubuhnya.

Sampai di Cicangkal, Ming Ming memilih untuk melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Disamping menghemat ongkos, hal tersebut juga dilakukannya untuk sekalian mencari botol-botol bekas ataupun gelas-gelas bekas minuman air mineral yang biasa dikumpulkannya. Sepanjang jalan, ia melihat ke kanan dan ke kiri berharap ada gelas-gelas plastik air mineral yang tergeletak. Tak jarang, saat memulung ia juga berpapasan dengan ibu ataupun adik-adiknya yang juga ikut memulung.

Setelah berjalan kira-kira 5 km, Ming Ming melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot berwarna putih-orange jurusan Serpong, ia pun selalu membayar dengan uang seadanya. Berkat keramahan dan kebaikan yang selalu terpancar dari wajahnya, Ming Ming hampir tidak pernah mendapatkan hal yang buruk. “Alhamdulillah, sampai detik ini saya belum pernah mengalami kejadian buruk selama di perjalanan,” tutur gadis yang memiliki hobi menulis dan membaca ini.

Jarang Makan Siang. Dari Serpong ia pun meneruskan perjalanan dengan menaiki kendaraan angkot menuju arah Ciputat hingga sampai ke kampusnya di Universitas Pamulang, Tangerang. Meski jarak dari rumahnya di Bogor hingga kampusnya di Tangerang lumayan jauh namun Ming Ming selalu masuk kelas dengan tepat waktu dan bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Perkuliahan biasanya dimulai pukul 10.00 atau 11.00 siang dan berakhir pada pukul 14.00 atau 16.00 sore. Saat jam istirahat (siang hari), Ming Ming hampir tidak pernah makan di kantin. Meski perutnya terasa keroncongan karena dari pagi belum makan, selalu ditahannya. Jam istirahat digunakannya untuk membaca buku-buku pelajaran di perpustakaan.

Selesai mengikuti perkuliahan, jika tidak ada kegiatan lain, Ming Ming biasanya langsung bergegas pulang. Seperti biasa, untuk menghemat ongkos, pulangnya pun ia menumpang truk yang lewat. Di sebuah rental komputer yang jaraknya sekitar 5 km lagi ke rumahnya, Ming Ming memutuskan untuk turun dari truk. Ming Ming biasanya mampir sebentar ke rental tersebut untuk belajar komputer. Kira-kira selama satu jam Ming Ming berada di dalam rental. “Itu saya lakukan kalau lagi ada uang,” tambahnya. Setelah itu barulah ia melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki dan tentu saja sambil memulung. Ia pun tak pernah lepas dari gembolan karung yang berisi botol-botol ataupun gelas-gelas plastik bekas minuman air mineral.

Tidak seperti layaknya pemulung lain, Ming Ming memiliki sikap yang sangat ramah terhadap siapapun. Sepanjang perjalanan, hampir semua warga yang ada di daerah itu mengenalnya. Tak jarang ia pun sering diminta untuk mampir. Tak jarang pula ada warga yang bertanya, “Untuk apa neng botol-botol bekas itu?” Gadis yang saat ini masih duduk di semester 2 itu pun menjawab, “Untuk biaya kuliah pak.”

Di tengah perjalanan, ketika panas dan rasa lelah sudah menghampiri seluruh tubuhnya, Ming Ming berhenti sejenak untuk menunggu kalau-kalau ada truk yang lewat agar ia tidak harus berjalan kaki. Sama seperti ketika berangkat, Ming Ming pun harus melewati hutan belantara dan jalan yang berkelok-kelok untuk bisa sampai di rumahnya. Biasanya, pukul 19.00 Ming Ming tiba di rumah yang hanya terdiri atas dua petak ruangan itu. Setelah berganti pakaian, Ming Ming memulai aktivitasnya untuk membersihkan botol-botol ataupun gelas-gelas hasil memulungnya hari itu.

Rumah yang ditinggalinya memang tidak layak untuk disebut sebagai rumah. Temboknya hanya terbuat dari bilik yang sudah bolong-bolong di beberapa bagian. Lantainya pun masih berupa tanah yang hanya dialasi koran. Belum lagi atap rumahnya yang hanya ditutupi oleh karung-karung bekas. Tak ada kamar mandi dan perabotan berarti di rumah tersebut.

Setelah membersihkan hasil memulungnya, malamnya Ming Ming harus menyetrika baju seluruh keluarga. Pukul 21.00 hingga 22.00, ia selalu sempatkan diri untuk belajar sebelum akhirnya tertidur dan terbangun pada pukul 02.00 atau 03.00 dini hari untuk shalat tahajud. Begitu seterusnya yang ia lakukan sehari-hari. Ming Ming berharap dengan perjuangan dan ridha Allah, ia bisa terus menuntut ilmu. Dengan ilmu, ia yakin bisa menggapai cita-citanya guna mewujudkan impiannya untuk mendirikan sekolah TK Islam Terpadu, bahkan kalau bisa hingga perguruan tinggi. Aimee

Side bar 1:

Hanya Setahun Sekali Bisa Mencicipi Daging Ayam


Bagi kebanyakan orang, daging ayam adalah makanan yang sangat umum. Namun tidak untuk Ming Ming. Daging ayam merupakan daging yang sangat istimewa. “Setiap satu tahun sekali, saya baru bisa merasakan daging ayam,” ungkapnya. Biasanya saat hari raya Idul Fitri ia baru bisa makan daging ayam, itupun di hari kedua Lebaran. Hari pertama Lebaran, setelah bersilaturahmi dengan tetangga-tetangga, Ming Ming dan keluarga langsung mengambil karung dan memulung botol-botol bekas air mineral. Bersama keluarganya pula Ming Ming berjalan sampai ke desa seberang di tengah teriknya matahari.

Ming Ming mengaku saat Lebaran adalah saat dimana keluarganya harus mengais rezeki sebanyak-banyaknya, karena pada saat itu banyak orang yang menggunakan minuman gelas-gelas praktis untuk menjamu tamunya. “Pada saat itu adalah kesempatan untuk berkeliling dan mencari gelas-gelas bekas minuman,” jelasnya. Pada Lebaran hari kedua, setelah keluarganya dapat mengumpulkan botol-botol ataupun gelas-gelas bekas minuman, sang ayah akan menjualnya dan bisa mendapatkan uang yang sangat lumayan. Uang tersebut diberikan kepada sang istri, Pujiyati, dan Pujiyati langsung bergegas ke pasar untuk membeli satu ekor ayam. Setelah sang ibu pulang dari pasar, Ming Ming dan adik-adiknya membantu memasak. Setelah ayamnya matang, Ming Ming sekeluarga berkumpul untuk makan dan mengucap syukur. “Walaupun hanya satu tahun sekali, kami sangat menikmatinya dan mensyukurinya,” ujar Ming Ming terharu. “Saat itulah merupakan anugerah terindah bagi keluarga kami,” tambahnya. Aimee


Side bar 2:


Mendoakan Orang yang Memandang Sinis Padanya


Setiap hari setelah selesai kuliah, Ming Ming memang harus berjalan kaki mencari botol-botol bekas. Meski sering dianggap remeh orang, namun Ming Ming selalu berusaha untuk tetap sabar. Pernah saat Ming Ming memulung di sebuah desa yang masih merupakan kecamatan Cicangkal. Saat itu ia dipanggil oleh seorang bapak-bapak yang tak dikenal. Bapak itu menyuruh agar Ming Ming mengambil gelas-gelas plastik yang ada di hadapannya. Tentu saja Ming Ming sangat berterima kasih. Namun ketika ia hendak memungut gelas-gelas itu, bapak yang menyuruh tadi langsung menendang gelas-gelas plastik tersebut. Ming Ming berusaha sabar. Namun, saat Ming Ming ingin mengambil gelas-gelas plastik itu untuk kedua kalinya, bapak tersebut kembali melakukan hal yang sama. Lalu dengan tegas Ming Ming berkata, “Seberapa berharga gelas-gelas plastik ini di mata bapak, mungkin bagi bapak itu tidak berharga, tapi bagi saya dan keluarga sangat berharga. Dari sini kami bisa makan dan bersekolah.” Kemudian bapak itu terdiam dan langsung meninggalkan Ming Ming. Dari situ Ming Ming berpikir bahwa pada suatu ketika ia harus tegas akan suatu hal yang disepelekan.

Awal masuk kampus, tidak ada satu pun teman yang mengetahui keadaan ekonomi keluarga Ming Ming. Tapi lama kelamaan karena terlalu sering telat bayar uang kuliah, akhirnya ada satu orang temannya yang tahu. Bahkan teman kampusnya itu juga pernah datang ke rumah Ming Ming. Awalnya Ming Ming takut akan dijauhi teman-temannya, namun setelah itu ia pun bersyukur karena justru banyak teman-teman yang membantu dan mensuport kegiatannya, meski tidak bisa juga dipungkiri ada beberapa teman yang menganggap bahwa pekerjaan memulung adalah pekerjaan yang hina. Tapi Ming Ming tidak menghiraukannya, dan bahkan mendoakan yang terbaik untuk temannya itu. Aimee


Side bar 3:


Mendapat Peringkat Meski Harus Bekerja Keras


Hari-harinya yang harus selalu diisi dengan bekerja dan bekerja, tidak lantas memberikan dampak negatif bagi nilai akademiknya. Kedisiplinan yang ia miliki, membuat segalanya bisa terencana. Pembagian waktu belajar pun telah ia susun secara terperinci. Meski ia tidak memiliki buku dan hanya meminjam dari teman-temannya, namun ia selalu meluangkan waktunya untuk membaca. “Saya cuma bisa beli buku loakan yang harganya Rp 3000, itu pun sangat jarang,” ungkap Ming Ming.

Ketika ia tidak sempat belajar karena harus memungut botol-botol bekas, ia tidak membiarkan waktu itu berlalu begitu saja. Ia selalu menyempatkan diri membaca buku pelajaran sambil berjalan. Misalnya, membaca di dalam angkutan kota. Kadang juga ia baca sebelum dosen masuk kelas.

Semangat dalam menjalani hidup, membuat prestasinya tidak terhalang. Dari SD hingga SMU, Ming Ming selalu mendapatkan peringkat tiga besar. Bahkan ia juga memiliki prestasi di luar pendidikan formalnya. Pada tahun 2007 sebelum ia meninggalkan bangku SMU, ia pernah mendapat juara lomba puisi. Saat itu ia mendapat juara ke 2. Ia pun masuk dalam sepuluh besar lomba membawakan berita. “Saat itu adalah tepat hari bahasa,” terangnya.

Menurut kepala jurusan Akuntansi Universitas Pamulang, Endang Rukhiat, SE., MM., Ming Ming merupakan anak yang penuh semangat dalam belajar. “Ia pun termasuk ke dalam peringkat 10 besar dari seluruh mahasiswa jurusan akuntansi,” ujarnya. Aimee


Sidebar 4:

Ustadz Ahmad Al-Habsy, Penceramah


Ming Ming bisa dikatakan sedang berjihad”


Apabila seseorang yang mencari ilmu dan mencari nafkah dengan jalan memulung berarti orang itu sudah bisa dikatakan jihad. Orang yang memulung lebih baik bila dibandingkan dengan orang yang suka menggantungkan hidup kepada orang lain. Terkadang manusia menganggap bahwa pekerjaan memulung itu rendah, padahal di mata Allah itu belum tentu. Justru orang yang mulia adalah orang yang mau bekerja keras dan mencari ilmu setinggi-tingginya.

Ada hadist yang mengatakan, “Orang yang menggantungkan diri dengan orang lain maka di akhirat kelak akan dibangunkan jasadnya hanya tulang tanpa kulit.” Diantara sifat-sifat pemulung terdapat kisah, ada seseorang yang setiap hari pekerjaannya membersihkan duri yang ada di jalanan namun karena kerja keras dan semangatnya maka ia pun menjadi orang yang sukses. Allah menjanjikan, “Likulli mujtahid nafsibun.” Setiap orang yang mau bekerja keras dan dia bersungguh-sungguh maka seseorang itu akan diberikan jaminan dari Allah berupa kesuksesan yang tidak pernah diduga-duga sebelumnya. Aimee