Kamis, 16 Juli 2009

Demi sebuah rumah ibu tega meninggalkan anak bungsunya, hingga anak harus menderita gizi buruk

Ade Margandi, Ayah Penderita Gizi Buruk

Jangan salahkan aku jika anakmu menderita gizi buruk,” begitulah kata-kata yang dilontarkan oleh Ade margandi (42) setelah sang istri meninggalkan dirinya dan ketiga anaknya. Ia rela menjadi bapak sekaligus ibu untuk ketiga anaknya. Kemiskinan, membuat ia harus rela melihat putra bungsunya yang terkulai lemah di RSUD Soreang, Bandung. Lantas bagaimana perjuangan Ade dan apa yang menyebabkan putra bungsunya menderita gizi buruk?

Senin (29/6), saya melakukan perjalanan menuju kota Bandung, Jawa Barat. Hampir lima jam menelusuri jalan menuju kota Bandung, tibalah di sebuah rumah sakit yang terletak di Jalan Alun-alun Utara Pemkab Bandung. Suasana mulai terasa berbeda dengan Jakarta. Hawa sejuk masih terasa. Pemandangan hijau pun terlihat indah di sekelilingnya. Sesampainya di dalam ruangan RSUD Soreang, saya disambut baik oleh para petugas Rumah sakit.

Tepat di depan ruang Melati kelas III terlihat enam tempat tidur. Masing-masing bagian sebelah kanan dan kiri, terdapat tiga ranjang tempat tidur ditempati oleh anak-anak yang terbaring lemah tak berdaya. Mereka berusaha sembuh dari penyakitnya masing-masing. Di balik pintu sebelah kiri, terlihat seorang pria tua yang tengah menggendong anaknya dengan sebuah kain batik sambil mengayunkan badannya. Dialah Ade margandi (42) dan Fadli Sobarna (2), putra bungsunya yang positif mengalami gizi buruk. Setelah membaringkan anaknya di sebuah ranjang dan duduk di bangku palstik berwarna biru, Ade bercerita tentang perjuangan dan kisahnya sebagai single parent dari sebuah keluarga miskin bagi ketiga anaknya.

Keluarga Miskin. Ade margandi atau yang akrab di panggil Ade merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Dua adiknya meninggal dunia dan yang satu telah menikah serta mengikuti suami. Ade dibesarkan dari keluarga yang tergolong ekonomi sulit. Ibunya, Onah (72) hanya bekerja sebagai buruh tani yang dibayar Rp 12.000 per hari. Sedangkan, bapaknya sudah meninggalkan Ade sejak ia lahir. Kehidupannya dari kecil amatlah memprihatinkan. Bila anak-anak seusianya sudah mengenyam pendidikan di sekolah, Ade justru harus mencari uang guna membantu ibu yang sudah menjadi janda. Saat Ade berusia 20 tahun, ia mulai mencari pekerjaan yang lebih baik dari sekedar bertani guna meningkatkan taraf hidup keluarganya.

Ade mulai menemukan pekerjaan yang lebih baik. Selepas meninggalkan pekerjaan sebagai petani, ia menjadi penjahit pakaian di sebuah perusahaan konveksi. Diakui Ade, upahnya cukup lumayan ketimbang penghasilan saat bekerja sebagai petani. Tahun 1998 merupakan tahun yang kelam bagi Ade dan bagi banyak orang. Ia harus rela meninggalkan pekerjaannya sebagai penjahit dikarenakan perusahaan tempat ia bekerja terkena dampak krisis ekonomi. Alhasil, sebagian besar karyawannya terpaksa diberhentikan, termasuk Ade. Setelah mengalami depresi akibat PHK, Ade mulai mencari pekerjaan lainnya. Terdesaknya kebutuhan ekonomi mengharuskan Ade untuk bekerja. Akhirnya ade pun bekerja sebagai buruh serabutan. “Ketika ada yang meminta saya untuk bekerja sebagai kuli, ya saya jalankan sebagai kuli. Pokoknya pekerjaan apa saja, yang penting halal saya kerjakan,” terang Ade sambil menghela nafas sesekali.

Sekian lama Ade hidup sendiri, pada tahun 2001, ia melepas kesendiriannya dan menikah dengan gadis yang bernama Popon Supainah (40). Meski terbilang ekonomi sulit, kehidupan rumah tangga mereka cukup bahagia. Kebahagiaan itu terasa lebih lengkap setelah kehadiran anak-anak mereka. Susah dan senang, selalu dijalani bersama. Terdesaknya kebutuhan keluarga untuk menyambung hidup serta keinginan untuk memiliki pekerjaan yang lebih layak, membuat kebahagiaan yang mereka jalani selama bertahun-tahun tergoyahkan. Popon sudah tidak bisa lagi menerima kehidupan keluarga yang tak menemui perbaikan. Keinginannya yang kuat untuk memiliki rumah yang bagus, kondisi ekonomi yang memadai mulai merasuki pikiran Popon. Popon selalu saja menuntut Ade agar mencari nafkah lebih sehingga ia bisa menikmati hidup seperti teman-temannya yang sukses.

Ditinggal Istri. Merasa tuntutan Popon tidak mampu dipenuhi Ade, akhirnya Popon memilih untuk bekerja di negeri seberang. Pada tahun 2007, setelah Popon melahirkan anak ketiga yang bernama Fadli Sobari, ia memutuskan untuk menjadi seorang TKW di Arab Saudi. Kurang dari dua bulan, Fadli dapat merasakan air susu dari ibu kandungnya tersebut. Kebutuhan hidup yang terus mendesak membuat Popon harus memutuskan untuk rela meninggalkan Fadli dalam usia dua bulan. “Saat usia itu, seharusnya Fadli masih merasakan kasih sayang dari ibunya dan bukan ditinggalkan,” ungkap kekecewaan Ade.

Sejurus kemudian, Ade merasa beban hidup yang ia pikul akan semakin berat selepas ditinggal sang istri. Ade juga merasa kehilangan semangat hidup, yang kemudian berpengaruh terhadap hilangnya semangat untuk mencari nafkah. “Karena saya hanya bersama ibu yang sudah berusia lanjut, saya harus memikirkan kehidupan anak saya kelak, kebutuhan makan anak saya nantinya,” cerita Ade sambil mengelus Fadli. Ade langsung mempercayai kepergian Popon bekerja di luar negeri atas dasar kebutuhan ekonomi. “Saya merasa Popon bukan hanya sekedar bekerja, namun ia mencari suami lain lagi,” ungkapnya. Kini, Ade pun sudah tidak ingin bersamanya lagi. Yang ia inginkan adalah bagaimana merawat anak-anaknya untuk tumbuh menjadi dewasa dan sehat.

Tak pernah sedikit pun terlintas dalam pikirannya, Ade harus membesarkan anak-anaknya hanya dengan kasih sayang yang ia miliki sendiri, tanpa kehadiran istri. Namun, itulah kenyataan pahit yang harus diterima Ade. Setelah kepergian istri ke luar negeri, Ade harus menggantikan posisi istri dengan mengurus ketiga anaknya. Kegiatan yang ia lakukan sama halnya dengan seorang ibu, dan mencari nafkah layaknya seorang bapak dan kepala rumah tangga. Dari kegiatan Ade sebelumnya yang hanya fokus mencari uang untuk biaya kebutuhan rumah tangga dan makan, saat ini Ade harus mengubah aktifitasnya menjadi seorang ibu sekaligus bapak. Pagi hari, Ade harus bangun untuk mempersiapkan kebutuhan anak-anaknya, Novi (7), Rani Sulastri (5) dan Fadli Sobarna (2). Ketika ketiga anaknya sudah membuka mata dan melihat indahnya pagi, ia lantas memandikan anak-anaknya dan membuat makanan untuk ketiga anaknya serta ibunya yang sudah lanjut usia.

Menjadi Bapak Sekaligus Ibu. Tak hanya itu saja, Ade juga mencuci baju dan piring hingga larut malam. Memejamkan mata untuk melepas kelelahan, cuma bisa ia lakukan selama beberapa menit saja. Keesokan paginya, ia harus melakukan rutinitas yang sama. Tugasnya yang ganda, membuat Ade memiliki pemikiran yang bercabang. Di satu sisi, ia harus merawat anak anaknya. Di sisi lain, ia juga harus memenuhi kebutuhan bahan makanan bagi keluarga. “Pekerjaan saya serabutan, maka pemasukan uang pun dalam satu hari belum tentu ada untuk makan,” terang Ade sambil berkaca-kaca.

Sesekali, istri memang mengirim uang untuk biaya kehidupan ketiga anaknya. Istrinya pernah sekali mengirim uang sebesar Rp 4 juta untuk kebutuhan hidup Ade dan ketiga anaknya. Bagi Ade, itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih balita. Apalagi anaknya, Fadli masih butuh susu untuk asupan gizinya. Ade sudah merasa bahwa sudah tanggungjawabnya untuk merawat ketiga anaknya tersebut. Ia mengaku akan merasa sangat berdosa, jika ia menelantarkan ketiga anaknya. Keterbatasan waktu dan tenaga yang dimilikinya semenjak merangkap menjadi ibu, membuat dirinya tak punya banyak waktu untuk memperhatikan asupan makanan bagi ketiga anaknya. “Gimana mau bekerja, anak-anak saya masih kecil-kecil. Mereka masih butuh kasih sayang. Siapa yang ingin menjaga mereka kalau bukan saya, karena saya hanya sebatang kara,” kilah Ade.

Sesekali, untuk memenuhi kebutuhan pangan, Ade harus meminjam uang kepada tetangga-tetangganya. Yang ia pentingkan hanyalah anak-anaknya dan ibunya, agar bisa makan demi melanjutkan hidup. Sedangkan, Ade sendiri jarang sekali memperhatikan dirinya. Pernah suatu ketika di dapur rumah milik ibu Ade, hanya ada sedikit bahan makanan dan cukup untuk anak-anak serta ibunya, Onah. Ia harus rela berpuasa selama empat hari agar ibu kandung dan anak-anaknya bisa makan. Menurutnya, ia kerap berpuasa bukan hanya sesekali. Ade mengaku jika ia tidak memiliki iman yang sangat kuat, mungkin ia sudah berada di rumah sakit jiwa. Untungnya, benteng agama yang kokoh membuat ia terus bertahan dengan keadaan yang dialami. Meski sudah berusaha maksimal menjadi bapak sekaligus ibu, cobaan terus dihadapi hingga akhirnya baru diketahui bahwa anaknya, Fadli menderita gizi buruk. Kemiskinan pula yang kini membuat anak pertama dan keduanya tak bisa mengenyam pendidikan layaknya anak-anak lain.

Positif Gizi Buruk. Sebelum Fadli mengalami gizi buruk, menurut Ade, Fadli merupakan anak yang sangat lucu dan aktif. Tubuhnya gemuk seperti kebanyakan bayi-bayi yang lainnya. Pada umur satu tahun, Fadli juga sudah bisa berjalan dan bermain dengan rekan-ekan sebayanya. Tak jarang, tetangganya sangat menyukai Fadli, karena anaknya yang lucu dan aktif. Suatu hari, ketika sang nenek pergi bertani dan Ade bekerja di dapur membuat makanan serta merebus air untuk persediaan minum, tanpa di ketahui Ade, Fadli masuk dan langsung meminum air yang masih mendidih di dalam sebuah termos yang baru terisi air. Keesokan harinya, badan Fadli mendadak menjadi panas. Tanpa pikir panjang, Ade langsung membawa Fadli ke puskesmas terdekat.

Setelah diberi obat, Fadli tak kunjung sembuh. Ade pun pergi ke tempat praktek dokter yang tak jauh dari rumahnya. Kendati sudah diperiksa dan diberi obat oleh dokter tersebut, penyakit Fadli tetap tak jua sembuh. Akhirnya, ade memutuskan untuk membawanya kembali ke dokter. Menurut dokter yang memeriksa, keadaan Fadli sudah sangat kritis. Karena keterbatasan biaya, Ade bingung akan membawa anaknya tersebut ke mana. Hanya kepasrahan sajalah yang menghinggap di pikiran Ade. Setelah beberapa lama tidak diobati, tubuh Fadli semakin hari semakin mengecil. Perutnya kemudian membuncit, dan dibarengi dengan kakinya yang membengkak. Paru-parunya semakin terlihat jelas karena mengurusnya tubuh Fadli. Ia pun tidak bisa berjalan seperti sebelum terserang penyakit.

Tubuh Fadli sangat lemah tak berdaya. Kulit tubuhnya juga mengelupas. Ade tidak bisa berbuat apa-apa, melihat kondisi anaknya. Ia hanya mampu meratapi kemiskinannya. Hingga pada suatu hari, pada Senin (22/6) lalu, Ade kedatangan tamu penting di rumahnya. Ia terkejut dan tak menyangka bahwa yang datang berkunjung adalah istri gubernur Jawa Barat yang sekaligus menjadi ketua tim penggerak PKK Jawa barat. Setelah beberapa lama berbincang-bincang, akhirnya Nety Akhmad Heryawan langsung meminta Ade agar membawa Fadli ke rumah sakit terdekat yaitu RSUD Soreang Bandung, untuk dilakukan perawatan. Ade pun menuruti apa kata ibu Gubernur. Saat itu juga, Fadli langsung dibawa ke Rumah sakit. Beruntung, biaya yang dikeluarkan untuk perawatan Fadli ditanggung oleh Pemkot Bandung. Merasa Fadli membutuhkan kasih sayang dari sang ibu, Ade berusaha untuk mengabarkan sang istri via telepon. Kabar yang ia sampaikan ternyata sia-sia. Tidak ada tanggapan apapun yang diberikan istri. “Saya sudah mengabarinya, namun istri saya cuek,” ungkapnya dengan penuh kesedihan. Saat ini, Ade sudah tidak ingin memikirkan istrinya kembali. Yang ia pikirkan hanyalah anak-anaknya. “Jika saya tidak merawat dan menyerah dengan keadaan maka siapa yang akan merawat anak saya nanti,” ungkap Ade mengakhiri perbincangan. Aimee

Side bar 1…

Onah, Ibu Kandung Ade

Ade selalu berusaha menjadi bapak sekaligus ibu yang terbaik untuk anak-anaknya.

Tepat di Kp. Cisalak RT. 01/03, Desa Jati Sari, Kecamatan Cangkuang, Bandung, realita menemui Onah, ibu kandung Ade. Menurutnya, dari kecil Ade adalah anak yang mandiri. Ia ditinggal oleh bapaknya sejak masih kecil. “Ia sering membantu ibu mencari uang dan menggantikan bapaknya,” ungkap Onah. Selain bekerja menjadi buruh, Ade juga merangkap menjadi ibu dari ketiga anaknya. Ia merawat anak-anaknya dengan baik. Bahkan, ia juga rela tidak makan asalkan ibu dan anaknya dapat makan. Onah mengaku, tidak mengetahui penyebab cucunya sakit dan mengalami gizi buruk.

Setahu Onah, Ade selalu memberikan makanan yang bergizi dan sehat seperti anak-anak balita lainnya. Ia juga selalu berusaha menjadi bapak sekaligus ibu yang terbaik untuk ketiga anaknya. Onah juga menyayangkan akan kepergian menantunya. “Popon tidak sayang kepada saya,” jelas Onah singkat. Terbukti, Popon hanya meninggalkan anak-anaknya tanpa bertanggung jawab. “Yang merawat anak-anaknya hanya Ade, anak saya,” ujarnya. Onah mengaku tidak bisa membantu Ade sepenuhnya karena ia harus bekerja menanam benih padi dari pagi hingga sore. Aimee


Tidak ada komentar:

Posting Komentar